Sabtu, 12 Desember 2009

Sastra

Arti Dari Sebuah Sastra

  • Sastra (Sanskerta: शास्त्र, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.Yang agak bias adalah pemakaian istilah sastra dan sastrawi. Segmentasi sastra lebih mengacu sesuai defenisinya sebagai sekedar teks. Sedang sastrawi lebih mengarah pada sastra yang kental nuansa puitis atau abstraknya. Istilah sastrawan adalah salah satu contohnya, diartikan sebagai orang yang menggeluti sastrawi, bukan sastra.Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa.

Novel

Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif; biasanya dalam bentuk cerita. Penulis novel disebut novelis. Kata novel berasal dari bahasa Italia novella yang berarti "sebuah kisah, sepotong berita".

Novel lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks dari cerpen, dan tidak dibatasi keterbatasan struktural dan metrikal sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah novel bercerita tentang tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari, dengan menitik beratkan pada sisi-sisi yang aneh dari naratif tersebut.

Novel dalam bahasa Indonesia dibedakan dari roman. Sebuah roman alur ceritanya lebih kompleks dan jumlah pemeran atau tokoh cerita juga lebih banyak.

Komik

Komik adalah suatu bentuk seni yang menggunakan gambar-gambar tidak bergerak yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk jalinan cerita. Biasanya, komik dicetak di atas kertas dan dilengkapi dengan teks. Komik dapat diterbitkan dalam berbagai bentuk, mulai dari strip dalam koran, dimuat dalam majalah, hingga berbentuk buku tersendiri.

Terminologi

  • Di tahun 1996, Will Eisner menerbitkan buku Graphic Storytelling, dimana ia mendefinisikan komik sebagai "tatanan gambar dan balon kata yang berurutan, dalam sebuah buku komik." Sebelumnya, di tahun 1986, dalam buku Comics and Sequential Art, Eisner mendefinisikan eknis dan struktur komik sebagai sequential art, "susunan gambar dan kata-kata untuk menceritakan sesuatu atau mendramatisasi suatu ide".Dalam buku Understanding Comics (1993) Scott McCloud mendefinisikan seni sequential dan komik sebagai "juxtaposed pictorial and other images in deliberate sequence, intended to convey information and/or to produce an aesthetic response in the viewer".Para ahli masih belum sependapat mengenai definisi komik. sebagian diantaranya berpendapat bahwa bentuk cetaknya perlu ditekankan, yang lain lebih mementingkan kesinambungan image dan teks, dan sebagian lain lebih menekankan sifat kesinambungannya (sequential).

Untuk lingkup nusantara, terdapat sebutan tersendiri untuk komik seperti diungkapkan oleh pengamat budaya Arswendo Atmowiloto (1986) yaitu cerita bergambar atau disingkat menjadi cergam yang dicetuskan oleh seorang komikus Medan bernama Zam Nuldyn sekitar tahun 1970. Sementara itu Dr. Seno Gumira Ajidarma (2002), jurnalis dan pengamat komik, mengemukakan bahwa komikus Teguh Santosa dalam komik Mat Romeo (1971) mengiklankannya dengan kata-kata "disadjikan setjara filmis dan kolosal" yang sangat relevan dengan novel bergambar.

Sejarah Sastra

DAPATKAH kita bayangkan seorang novelis kelahiran
Gilimanuk atau Sigli yang tak lagi membaca novel-novel Indonesia kecuali mungkin hanya Belenggu, Dari Suatu Masa Dari Suatu Tempat, dan
Surabaya, karena khazanah prosa di negerinya hanya memberinya gambaran
tentang seolah-olah novel? Dapatkah kita
bayangkan ia "hanya" mendalami Gilgamesh, Mimpi Kamar Merah, Genji
Monogatari, Mahabharata, Tristam Shandy, Kisah Seribu Satu Malam, Don
Quixote, Moby Dick, dan sejumlah novel dari Eropa Timur, Rusia dan
Afrika Utara dari Abad 20, dan membuat novel yang sungguh-sungguh novel
yang sudah keluar sama sekali dari jebakan "pembaruan" yang begitu
digemari kaum penulis senegerinya selama 32 tahun terakhir, juga dari
"novel terlibat" yang begitu dielu-elukan kaum "pembela masyarakat," kaum politik?Dapatkah kita memiliki seorang penyair yang tumbuh di
Bone atau Rogojampi, yang memandang santai tanpa beban, bahkan mungkin
tanpa anxiety of influence Chairil Anwar dan sejumlah penyair Indonesia
lain yang dianggap penting dalam 50 tahun terakhir namun memandang
serius Popul Vuh, puisi epik dari Nusatenggara dan Kalimantan Timur,
puisi Spanyol dari Zaman Barok, Walt Whitman, Sutasoma yang hanya ia
baca terjemahan Inggrisnya, Paradise Lost dan sejumlah puisi "modernis"
dari Argentina, Amerika Utara, dan India? Dapatkah kita bayangkan ia, yang seraya fasih dalam
teori-teori mutakhir, membandingkan anasir fantastik dan main-main dari
Bulgakov, Calvino, Gombrowicz, dan Cort_zar dengan sejumlah novel
Indonesia yang sering digotong sebagai "penggali akar tradisi" dan
menemukan bahwa yang disebut pertama ternyata lebih "Timur" ketimbang
yang kedua?Dia sedang menyempitkan dunia, segala sumber sastra
dari segala zaman yang sebenarnya bisa dia pilih-gunakan dengan
merdeka, tetapi ternyata tidak ke dalam "para penyair terdahulu" yang
tak lain adalah "kanon" sastra negerinya, sehingga dia tak pernah siap
menjelajahi kemungkinan yang begitu kaya dalam khazanah puisi yang
sesungguhnya.
Dia sedang memampatkan atau membekukan perkembangan sastra yang tak
lain adalah keterhubungan sastra Indonesia dengan sastra-sastra lain
dalam ruang dan waktu kepada sebuah latar masa kini yang terbatas yang,
ibarat sebuah bidang lukisan, sudah terisi barik dan jejak para
pendahulu, sehingga baginya hanya tersisa sebuah pojok kosong yang
kecil saja di mana ia hanya bisa melanjutkan bentuk-bentuk yang sudah
(telanjur) ada. antaran, paling tidak, dibandingkan dengan kaum
seniman di tiga negeri itu, si penyair dan barangkali seluruh
"generasi"-nya, tak terdukung institusi (termasuk pendidikan) yang
memadai, tradisi kesenian modern yang kokoh, dan diplomasi kebudayaan
yang sungguh-sungguh (yang bisa membuka pergaulan kosmopolit).
Dan jika kesenian memperbolehkan seorang seniman
menjadi "nabi kecil" yang mencipta dari langit berbeda dengan spesialis
lain, ilmuwan misalnya, yang harus tunduk pada keketatan tradisi
disiplinnya, yaitu tradisi yang tak terkungkung (politik) identitas
maka sempurnalah keterkucilannya dalam cangkang kebangsaan. Seandainya seorang novelis atau penyair tahu atau
memilih kapan sastra bangsanya mulai (Melayu Rendah atau Balai Pustaka,
misalnya) karena "jasa" kaum "sejarawan" itu, akankah ia tertolong
menulis sastra yang lebih baik, katakanlah sastra yang berhasil
mengaduk, menerobos "sastra tinggi" dan "sastra rendah" semisal
Midnight Children atau Amor en los Tiempos del C_lera? Dalam bentuk lain, para "pemikir" tersebut bergerak
menjadi "budayawan" yaitu mereka yang tak begitu betah dalam disiplin
sastra (atau disiplin apa saja) demi "kesejahteraan dunia dan
perikemanusiaan di masa yang dekat" (Takdir Alisjahbana), "revolusi
jiwa, revolusi dalam sumber segala kenyataan hidup, kenyataan
kebudayaan" (HB Jassin), "penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai
usang yang harus dihancurkan" (Surat Kepercayaan Gelanggang), "memahami
pertentangan-pertentangan yang berlaku dalam masyarakat maupun di dalam
hatimanusia" (Mukadimah Lembaga Kebudayaan Rakyat), "perubahan
kondisi-kondisi kultural itu secara revolusioner menuju ke arah
masyarakat sosialis Pancasila" (Penjelasan Manifes Kebudayaan) dan
deretan jargon ini masih bisa direnteng terus. (Dan pembaca ideal itu mungkin sebentar lagi menjelma
sebagai pembaca konkret jika si penulis bisa bekerja di laboratorium
sebagaimana penemu lampu listrik, pesawat terbang, atau rumus
matematika-fisika yang tak mengharapkan sambutan atau tepuk tangan.)
Bukankah di dunia ini ada juga penulis yang hanya menulis untuk
teman-temannya sendiri, mungkin ibunya atau neneknya sendiri, seraya
sadar diri bahwa ia hanya bercerita, bukan berkhotbah, seraya
meremehkan sastra nasionalnya sendiri: seperti penulis Ficciones dan
Cien A_os de Soledad yang tak mengharapkan karyanya dicetak lebih dari
3.000 kopi, dan ternyata mampu terjual dalam bahkan jutaan kopi,
diterjemahkan ke berbagai bahasa, dan mengubah khazanah sastra dan
pembaca di mana-mana?(Dan pembaca ideal itu mungkin sebentar lagi menjelma
sebagai pembaca konkret jika si penulis bisa bekerja di laboratorium
sebagaimana penemu lampu listrik, pesawat terbang, atau rumus
matematika-fisika yang tak mengharapkan sambutan atau tepuk tangan.)
Bukankah di dunia ini ada juga penulis yang hanya menulis untuk
teman-temannya sendiri, mungkin ibunya atau neneknya sendiri, seraya
sadar diri bahwa ia hanya bercerita, bukan berkhotbah, seraya
meremehkan sastra nasionalnya sendiri: seperti penulis Ficciones dan
Cien A_os de Soledad yang tak mengharapkan karyanya dicetak lebih dari
3.000 kopi, dan ternyata mampu terjual dalam bahkan jutaan kopi,
diterjemahkan ke berbagai bahasa, dan mengubah khazanah sastra dan
pembaca di mana-mana?